Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Catatan sejarah
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno,
dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang
ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya,
walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk
kepada nama kawasan.[3]
Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami
beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan
berakhir di Pakuan Pajajaran.
Catatan sejarah dari Cina
Menurut Hirth dan Rockhill,[4]
ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti
Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua
mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar
mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
“ | "Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman." | ” |
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
“ | "Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon." | ” |
Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
“ | "Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya." | ” |
Temuan arkeologi
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang
di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad
ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan
misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan
kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara,
Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang,
yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten
sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan
didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan
ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung. Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[5]
Naskah Kuno
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[7]
Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]
Menurut naskah Wangsakerta,
naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan
sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda
merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan
bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya
selama tiga tahun, 666-669
M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari,
dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri
sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua,
Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun
(612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh
yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu
sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali
pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menyebarnya Islam
Islam
mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun
penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.
Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam.
Masa penurunan
Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567),
serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu
Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir,
sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.[butuh rujukan]
Persekutuan antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa
yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.[butuh rujukan]
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[butuh rujukan]
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang
sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan
untuk melengserkan Purbasora.[butuh rujukan]
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723),
kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya,
Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan
kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739),
lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita
rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga)
di Sunda.[butuh rujukan]
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).[butuh rujukan]
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan,
maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan
gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus,
yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.[butuh rujukan]
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia
dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya,
Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera
sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh
adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28
tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun
942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang
Limburkancana (954-964).[butuh rujukan]
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera
sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera
dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan
Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka
puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu
Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan
kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).[butuh rujukan]
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya,
Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
(1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan
Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada
putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.[butuh rujukan]
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang
terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama
enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya,
Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311),
kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena
hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat.
Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih
kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang
Prabu Bunisora (1357-1371).[butuh rujukan]
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra
Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104
tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai
putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan
bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab
sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay
Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).[butuh rujukan]
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.[butuh rujukan]
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi.
Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D
73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi
tulisan sebagai berikut[10]:
“ | Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. | ” |
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[11] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.
Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan
perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya
tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
“ | Semoga selamat, ini tanda
peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru
Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit
(pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu
Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah
yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan
untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat)
dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi". |
” |
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang
menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara
sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang
Niskala Watu Kancana. Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan
pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional
Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa,
penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari
Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus,
Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang
Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional)
menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama
disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan
nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana,
raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan
ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah
Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisésa (989 - 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482)
- Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Hubungan dengan kerajaan lain
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.[butuh rujukan]
Majapahit
Menurut Kidung Sunda,
Majapahit berusaha untuk menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali
melakukan penyerangan tapi berhasil digagalkan. Upaya terakhir Mejapahit
untuk memperluas kekuasaannya adalah dengan upaya penyatuan melalui
perkawinan antara raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda tapi usaha ini pun gagal dan berkahir dengan tragedi Bubat.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris,[butuh rujukan] Perancis[butuh rujukan] dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [12](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda)
Sumber: https://id.wikipedia.org